Ruwatan merupakan sebuah tradisi pembersihan /
ritual pembersihan yang mana ditujukan pada seseorang yang semasa hidupnya selalu dihinggapi oleh berbagai kesialan entah itu dalam urusan usaha, karir, pekerjaan, sosial maupun jodoh. Upacara pembersihan tersebut dilakukan dengan menggunakan sebuah media dan media yang umum digunakan adalah Garam yang dilarutkan pada air bercampur bunga sesajen. Seseorang yang hendak
diruwat akan dimandikan dengan air yang sudah dicampur dengan berbagai
media ruwatan lain dengan maksud agar segala energi negatif yang ada di dalam tubuhnya bisa lenyap dan hilang. Intinya
ruwatan adalah upaya menghilangkan segala kesialan yang ada pada diri seseorang dan membuang segala energi negatif yang dapat merugikan orang tersebut.
Dahulu
ruwatan dilakukan tidak hanya sebatas dengan dimandikan dengan air yang sudah diberi sesajen, melainkan juga ada se abrek upacara yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum acara inti
ruwatan. Semisal harus ada tanggapan wayang kulit yang menceritakan lakon tertentu, harus ada ubo rampe beserta sesajennya dan lain sebagainya. Masalahnya, tidak semua orang bisa melakukan hal seperti itu dan hanya orang-orang yang mempunyai dana lebih saja yang mampu melakukannya.
Seiring perkembangan jaman,
ritual ruwatan bisa dilakukan dengan lebih praktis dan menghemat banyak biaya. Kini seseorang yang ingin
di ruwat tidak harus mengeluarkan banyak biaya dan menyediakan se abrek keperluan
ruwatan yang sudah saya sebutkan di atas. Yang terpenting adalah Anda sudah melaksanakan inti dari acara ruwatan yaitu
" Mandi Ruwatan " dan se abrek acara lain bisa Anda tinggalkan. Bahkan, ruwatan bisa Anda lakukan sendiri tanpa harus di dampingi oleh orang yang ahli dalam bidang
ruwatan. Asalkan Anda sudah memenuhi persyaratan yang diajukan oleh
sang ahli ruwatan dan melaksanakan semua panduan yang diberikan
sang ahli ruwatan, Anda pun bisa melakukan
ritual ruwatan sendiri di rumah dan dari jarak jauh. Saya tekankan lagi, inti ruwatan adalah ketika Anda sudah melaksanakan acara inti dari ruwatan yaitu
" Mandi Ruwatan " dan Anda bisa meninggalkan se abrek acara lain yang saya rasa tidak perlu Anda lakukan.
Ruwatan Jarah Jauh - Klik Di Sini
SEJARAH TRADISI RUWATAN
Ruwatan, sebagai salah satu warisan upacara tradisional Jawa sampai sekarang masih terlestarikan. Terlestarikannya upacara ini oleh karena keberadaaannya memang dianggap masih bermanfaat bagi pelestarinya.
Lepas dari itu, menurut beberapa ahli Ruwatan semula berkembang di dalam suatu cerita Jawa kuno yang pada pokoknya memuat masalah penyucian. Penyucian ini menyangkut pembebasan para dewa yang terkena kutukan atau tidak suci (diturunkan derajatnya) menjadi binatang, raksasa, manusia, dan sebagainya. Ruwatan ini dilakukan untuk membebaskan dewa-dewa bernoda itu agar menjadi dewa kembali.
Ruwat juga sering diartikan sebagai upaya untuk mengatasi atau menghindarkan sesuatu kesulitan (batin) yang mungkin akan diterima seseorang di dalam mengarungi kehidupannya. Ruwatan biasanya selalu diikuti dengan pertunjukan wayang kulit yang mengambil lakon tertentu (misalnya Murwakala atau Sudamala). Munculnya Ruwatan juga disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa manusia yang dianggap cacat keberadaannya (karena kelahirannya atau kesalahannya dalam berperilaku) perlu “ditempatkan” atau dikembalikan dalam tata kosmis yang benar agar perjalanan hidupnya menjadi lebih tenang, tenteram, sehat, sejahtera, dan bahagia. Orang yang dianggap cacad karena kelahiran dan juga karena kesalahannya dalam bertindak dalam masyarakat Jawa disebut sebagai wong sukerta. Dalam keyakinan Jawa wong sukerta ini kalau tidak diruwat akan menjadi mangsa Batara Kala.
Batara Kala adalah putra Batara Guru yang lahir karena nafsu yang tidak terkendalikan. Ceritanya, waktu itu Batara Guru dan Dewi Uma sedang bercengkerama dengan menaiki seekor lembu melintas di atas samudera. Tiba-tiba hasrat seksual Batara Guru timbul. Ia ingin menyetubuhi istrinya di atsa punggung Lembu Andini. Dewi Uma menolaknya. Akhirnya sperma Batara Guru pun terjatuh ke tengah samudera. Sperma ini kemudian menjelma menjadi raksasa yang dikenal bernama Batara Kala. Sperma yang jatuh tidak pada tempatnya ini dalam bahasa Jawa disebut sebagai kama salah kendhang gemulung. Jadi Batara Kala ini merupakan perwujudkan dari kama salah itu.
Dalam perkembangannya, Batara Kala minta makanan yang berwujud manusia kepada Batara Guru. Batara Guru mengijinkan asal yang dimakannya itu adalah manusia yang digolongkan dalam kategori wong sukerta. Wong sukerta atau orang-orang yang digolongkan sebagai wong sukerta ini ternyata memiliki beberapa versi pula. Salah satu versi menyatakan bawah golongan wong sukerta ada 19 jenis, ada pula sumber yang menyatakan bahwa jenis wong sukerta ada 60 macam, 147, 136, dan sebagainya.
Untuk melaksanakan Ruwatan ini orang yang menyelenggarakan biasanya akan melengkapi syarat-syarat yang diperlukan, di antaranya adalah sajen. Sajen untuk upacara Ruwatan secara garis besar terdiri atas: tuwuhan, ratus/kemenyan wangi, kain mori putih dengan panjang sekitar 3 meter, kain batik 5 (lima) helai), padi segedeng (4 ikat sebelah-menyebelah ujung gawang kelir), bermacam-macam nasi, bermacam-macam jenang, jajan pasar, benang lawe, berbagai unggas sepasang-sepasang, aneka rujak, sajen buangan, air tujuh sumber, aneka umbi-umbian, aneka peralatan pertukangan, aneka peralatan pertanian, dan sebagainya.
RUWATAN CUKUR RAMBUT GEMBEL
Gaya rambut gimbal boleh jadi sangat populer di kalangan musisi reggae, tapi bila pemilik rambut gimbal ini datang ke daerah Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, situasinya akan lain. Bisa-bisa si rambut gimbal ini dianggap bala atau pembawa bencana. Tradisi masyarakat yang tinggal di Dieng, Wonosobo dan sekitarnya mengharuskan anak-anak di atas umur 7 tahun yang memiliki rambut gembel (seperti rambut gimbal yang tumbuh alami) harus melakukan ruwatan cukur rambut gembel. Tujuannya agar segala 'bala' yang ditimbulkan sirna.
Bagi masyarakat Wonosobo, anak yang memiliki rambut gembel dianggap bisa membawa musibah atau masalah dikemudian hari, tapi bila diruwat anak tersebut dipercaya akan mendatangkan rejeki. Disamping itu ruwatan ini bertujuan agar si anak bisa hidup dengan rambut yang normal. Karena menurut Tito Dimejo, tokoh spiritual yang kerap melakukan ruwatan cukur rambut gembel ini, bila anak yang berambut gembel ini dicukur tanpa melakukan ruwatan bisa jadi rambut gembel tersebut tumbuh lagi dan kemungkinan anak tersebut bisa sakit-sakitan.
Keberadaaan rambut gembel bisa jadi sebuah fenomena, karena hanya anak-anak di kawasan Wonosobo dan sekitarnya yang mengalaminya. Selain itu rambut gembel juga bukan karena keturunan karena rambut gembel bisa tumbuh pada siapa saja. "Biasanya ciri-ciri anak yang akan tumbuh rambut gembel disertai panas tinggi selama beberapa hari," jelas lelaki yang biasa disapa Tito ini. Setelah itu, beberapa helai rambutnya menjadi kusut dan menyatu.
"Itulah mengapa disebut rambut gembel karena rambutnya mirip gelandangan yang tidak pernah merawat rambutnya," jelasnya lagi.
Rambut gembel bisa tumbuh lebih dari satu helai, bahkan anak yang bernama Wulan, 7 tahun, yang diruwat pada akhir April lalu memiliki 23 helai rambut gembel. Menurut Tito anak yang berambut gembel merupakan keturunan Ki Kolodete yang merupakan salah seorang dari tiga pendiri Kota Wonosobo. Berbagai mitos yang melatari keberadaan rambut gembel ini. Ada yang bilang rambut ini merupakan rambut Kurowo yang hidup di alam para dewa lalu secara turun-temurun rambut ini tumbuh kepada anak cucunya hingga kepada Ki Kolodete yang hidup di alam manusia.
Versi lain menyebutkan bahwa Ki Kolodete bersumpah tak akan memotong rambutnya dan tak akan mandi sebelum desa yang akan dibangunnya makmur. Kelak, keturunannya akan mempunyai ciri seperti dirinya. Itu pertanda akan membawa kemakmuran bagi desa yang ditinggalinya. Orang tua yang memiliki anak berambut gimbal mesti memperlakukan si anak dengan istimewa. Apa pun yang diminta sang anak akan dikabulkan. Jika tidak, orang tua mereka percaya petaka akan datang.
Masih banyak mitos lainya seperti anak rambut gimbal merupakan kesayangan Nyi Roro Kidul sedangkan lainnya menyebutkan bahwa anak rambut gembel merupakan anak titisan Keling yang menjadi anak kesayangan "dayang" yang "menghuni" kawasan Dieng.
Beragamnya mitos tersebut tidaklah terlalu berarti, yang pasti bagi orang tua yang memiliki anak berambut gembel, harus memperlakukan anaknya dengan istimewa karena bisa mendatangkan rejeki tapi bila tidak akan ada malapetaka.
"Bahkan ketika si Anak akan diruwat untuk dicukur rambutnya, orang tua harus menuruti segala permintaannya," tutur Tito.
Permintaan anak tersebut nantinya harus dibawa ketika ruwatan berlangsung selagi itu memang memungkinkan.
Menurut riwayatnya permintaan tersebut harus dipenuhi karena bila tidak si anak akan sakit-sakitan bahkan bisa berujung kematian dan orang tua akan mengalami musibah.
Ritual cukur rambut gembel bertujuan untuk mengembalikan rambut gembel kepada yang Maha Kuasa, dan agar pemilik rambut gembel yang menitipkan pada anak tersebut rela rambutnya dicukur serta di kembalikan kepada Sang Khalik. Selain itu si anak yang dicukur rambutnya agar memperoleh keberkahan dan kesehatan.
Untuk melakukan ruwatan inti tokoh spiritual atau dukun harus memandikan anak tersebut terlebih dahulu. Bisanya airnya diperoleh dari tempat-tempat kramat di kawasan Dataran Tinggi Dieng seperti di Goa Sumur.
Lalu sesajen seperti tumpeng putih dengan dihiasi buah-buah yang ditancapkan, hal ini menggambarkan rambut gembel. Tumpeng dianggap kepala sedangkan untaian buah-buahan sebagai rambut gembelnya. Lalu ada ayam kampung yang telah digoreng (bakakak), jajanan pasar serta 15 jenis minuman, seperti kopi manis dan pahit, teh manis dan pahit, selasih, susu, jawawut, dan sebagainya.
Setelah berdoa dan kepala anak tersebut diasapi dengan kemenyan barulah sang dukun memotong rambut gembel tersebut dengan sebelumnya memasukkan cincin yang dianggap magis ke tiap helai rambut gembel lalu mencukurnya satu-satu. Rambut yang telah dicukur lalu dibungkus dengan kain putih lalu kemudian dilarung di Telaga Warna Dieng atau ke sungai.
Sampai saat ini keberadaan rambut gembel masih sebuah misteri di Dataran Tinggi Dieng (Wonosobo dan sekitarnya).
Dan belum ada penelitian medis mengenai fenomena tersebut. Tapi dibalik itu semua, ruwatan cukur rambut gembel yang telah membudaya mampu menjadi daya tarik pariwisata Jawa Tengah, khususnya Dieng.
Rabu, 14 Juli 2010 | 00:19 WIB - Thabib Badri
Sebanyak sembilan anak warga Desa Gondowulan, Kecamatan Kepil, di lereng Gunung Sumbing Kabupaten Wonosobo, Selasa, mengikuti upacara ruwat rambut gembel di pelataran goa Nyi Simpen di desa setempat.
Upacara ruwat tersebut diawali dengan ritual mengarak sembilan anak yang rambutnya akan dipotong tersebut dari batas desa menuju lokasi dengan menyusuri jalan berbatu, licin dan menanjak sekitar dua kilometer.
Puluhan kelompok kesenian dan ratusan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama mengiringi dibelakangnya.
Mereka yang dipotong rambutnya tersebut antara lain Sahal Nasukha (5), Friska (5), Ahmad abdul halim (5), Indri Dwi Astuti (7), Umi Aminah (6), Safriyono Yulianti (3), dan Nurjanah (4).
Setelah diarak mereka duduk di atas panggung yang terbuat dari daun dan ditunggui orang tuanya. Kemudian satu persatu dari mereka rambutnya dipotong oleh Bupati Wonosobo Kholiq Arif dan berturut-turut oleh unsur Muspida.
Camat Kepil, Kumpul Ahmad Salim mengatakan kegiatan tersebut untuk memperkenalkan budaya dan tempat wisata di Kecamatan Kepil. Potong rambut gembel merupakan tradisi yang dipertahankan oleh masyarakat.
Ia mengatakan, orang tua akan memenuhi permintaan dari anak yang akan dipotong rambutnya. Mereka ada yang meminta dibelikan kambing, televisi, ayam, dan mainan.
Menurut dia, banyaknya anak yang mengikuti upacara pemeotongan rambut merupakan suatu kebetulan ada beberapa anak yang meminta sehingga dikumpulkan dan dikemas sebagai kegiatan wisata.
"Sebenarnya ada 21 anak, namun karena orang tuanya belum bisa memenuhi permintaan anaknya sehingga ditunda," katanya.
Ia mengatakan, kepercayaan masyarakat setempat, rambut gembel sebagai bukti keturunan dari Kiai Toriq yang merupakan cikal-bakal warga Kecamatan Kepil. Rambut gembel perlu diruwat dengan dipotong untuk menghilangkan sial. "Kiai Toriq berambut gembel dengan berat 1,5 kuintal dan mempunyai kuku sepanjang satu meter," katanya.
Kholiq Arif mengatakan ritual ruwat rambut gembel secara fisik berguna bagi anak karena akan sehat dan dari sisi tradisi mengandung kearifan lokal sekaligus menjadi aset wisata yang bisa mendatangkan turis.
"Ruwat potong rambut gembel sebagai bukti bahwa masyarakat Kepil selalu melestarikan tradisi," katanya.
RUWATAN DAN KISAH MURWAKALA
Di Jawa, ada banyak jenis upacara yang sedikit banyak berhubungan dengan kepercayaan. Yang sumbernya berasal dari jaman sebelum agama Islam mempengaruhi kebudayaan Jawa.
Satu diantaranya yang dapat dikatakan penting di dalam kehidupan orang Jawa, terutama pada waktu yang lampau, ialah ucapaya Ruwat atau juga disebut Ruwatan.
Menurut keyakinan orang Jawa dahulu banyak sekali hal atau peristiwa yang akan dapat mendatangkan malapetaka, apabila tidak menghiraukan dan berikhtiar secara khusus. Maka agar dapat terhindar dari bencana yang setiap saat bisa terjadi, diperlukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.
Syarat itu ialah kewajiban orang untuk mengadakan upacara ruwat. Hal-hal yang dianggap memerlukan adanya ucapara itu paling sedikit dapat digolongkan dalam tiga jenis, yakni :
1. Upacara ruwat bagi orang atau anak yang dianggap mempunyai nasib buruk, disebabkan kelahirannya (anak sukerta).
2. Ucapara ruwat bagi orang atau anak yang cacat tubuhnya.
3. Ucapara ruwat bagi orang yang dianggap bersalah, karena telah melanggar pantangan atau merusak benda-benda tertentu.
Kepercayaan tentang datangnya malapetaka yang akan menimpa anak sukerta dan orang-orang yang bernasib sial lainnya itu pada dasarnya berasal dari keyakinan cerita lama, yaitu dari sebuah cerita wayang purwa, yang disebut Murwakala atau Purwakala.
Purwa berarti asal atau permulaan, Kala berarti bencana, jadi asal mula dari bencana. Di daerah lain lakon itu disebut juga Dalang Karungrungan atau Dalang Kalunglungan.
Pada dasarnya cerita itu mengisahkan tentang asal dari lahirnya dewa raksasa bernama Kala dan mengenai kehidupannya selanjutnya. Mengenai cerita di daerah satu dengan lainnya ada berbagai variasi, meskipun tidak prinsipal, karena pada dasarnya berasal dari sumber yang sama.
Menurut Pakem Pedhalangan, dalam garis besarnya cerita itu adalah sebagai berikut:
Pada suatu ketika Dewa Siwa bercengkerama dengan permaisurinya yang sangat cantik, yaitu Dewi Uma. Mereka terbang diatas samudera dengan naik lembu tunggangannya bernama Lembu Andhini.
Di atas samudera itu Siwa melihat permaisurinya sangat menggairahkan, sehingga timbul hasratnya untuk bersatu rasa. Akan tetapi Dewi Uma tidak berkenan dihati, maka benih Siwa jatuh di tengah lautan.
Setelah masa benihnya itu berubah menjadi makhluku, kian lama kian besar. Akhirnya menjadi raksasa yang sangat besar dan sakti. Ia naik ke Suralaya, tempat bersemayam para dewa, bermaksud untuk menemui Siwa.
Setelah sampai ditempat yang dituju dan bertemu dengan Siwa, ia bertanya siapakah yang menurunkannya dan ia minta agar ditunjukkan manusia-manusia yang bagaimanakah yang diperkenankan untuk menjadi mangsanya.
Dewa Siwa mengakui bahwa ia adalah putera Siwa sendiri, dan diberi nama Bathara Kala. Untuk makannya, Siwa menyebutkan macam-macam manusia yang termasuk anak sukerta.
Maka Dewa Kala segera minta diri turun ke dunia untuk mencari mangsa, yaitu manusia-manusia yang telah ditentukan baginya. Ia menuju ke Danau Madirda. Sepeninggal Dewa Kala, Siwa sadar bahwa jumlah manusia yang disebutkan tadi terlalu banyak, sehingga apabila tidak dihalangi mungkin manusia akan punah dari muka bumi.
Ia lalu memerintahkan kepada Dewa Narada agar menugaskan Dewa Wisnu untuk menjadi dalang membatalkan perintah yang telah diberikan kepada Dewa Kala. Dewa Narada ditugaskan menjadi panjak (penyanyi), Dewa Brahma menjadi penabuh gender (semacam gamelan).
Dewa Wisnu kemudian memakai nama Dalang Kandhabuana, bertugas meruwat manusia-manusia sukerta yang ditakdirkan menjadi umpan Dewa Kala. Dengan demikian mereka dapat diselamatkan.
Diceritakan pula, bahwa pada waktu itu ada seorang janda di desa Medang Kawit, bernama Sumawit. Ia memiliki seorang anak laki-laki. Menjelang remaja bernama Joko Jatusmati. Karena ia anak tunggal, supaya selamat ia disuruh ibunya pergi mandi di Danau Madirda.
Patuh pada perintahnya, ia lalu pergi ke danau tersebut. Setelah sampai di danau itu ia berjumpa dengan Dewa Kala. Dewa Kala minta kesediaan anak itu untuk dimakan, karena ia termasuk manusia yang menjadi mangsanya.
Sadar ada bahaya mengancam, Joko segera melarikan diri. Sedangkan Dewa Kala mengejar kemana saja ia pergi. Ia bersembunyi di antara orang-orang yang sedang mendirikan rumah. Tapi akhirnya diketahui oleh Dewa Kala, maka kejar-kejaran terjadi dirumahitu.
Akhirnya rumah menjadi roboh. Pemuda itu lalu bersembunyi di tempat orang yang sedang membuat obat yang menggunakan pipisan. Disini pun ia diketahui oleh Dewa Kala.
Dalam usahanya untuk menghindarkan diri, ia terantuk pada pipihan sehingga benda itu patah. Selanjutnya ia bersembunyi di dapur yang kebetulan sedang dipakai memasak nasi. Di sini pun terjadi kejar-kejaran pula, sehingga menyebabkan dandang (tempat untuk menanak nasi) roboh.
Joko Jatusmati melarikan diri ke luar melalui halaman depan rumah. Di dalam usahanya mengejar pemuda itu di tengah halaman, Dewa Kala terjatuh, karena terlilit batang waluh (cucurbita pepo) yang kebetulan ditanam di halaman tersebut.
Akibatnya ia kehilangan arah ke mana mangsanya melarikan diri. Bersamaan dengan itu, di desa Medang Kamulan terdapat seorang laki-laki bernama Buyut Wangkeng. Ia memiliki anak perempuan tunggal bernama Rara Pripih yang baru saja dinikahkan.
Akan tetapi pengantin baru itu belum rukun, bahkan sang isteri minta kepada ayahnya agar diceraikan dari suaminya. Namun keinginannya tidak disetujui oleh ayahnya. Akhirnya ia membatalkan niatnya setelah ayahnya mengabulkan permintaannya untuk mengadakan ruwat dengan pertunjukan wayang.
Buyut Wangkeng segera menyuruh menantunya mencarikan dalang yang bersedia mempergelarkan pertunjukkan wayang untuk meruwat anaknya. Maka dipanggilah Dalang Kandhabuana.
Pada waktu yang telah ditetapkan pergelaran wang terus dimulai. Banyak sekali orang yang melihat. Diantara penonton itu terdsapat pula Joko Jatusmati, demikian juga Dewa Kala. Akhirnya Dalang Kandhabuana dapat menyelesaikan tugasnya.
Dalang penjelmaan Dewa Wisnu itu berhasil menghalang-halangi Dewa Kala dalam hal mengejar manusia yang menjadi mangsanya. Batara Kala dapat dihalau ketempat asalnya. Demikian pula anak buah dan pengikutnya, seperti kelabang, kalajengking dan lain-lainnya. Setelah itu bumi menjadi aman kembali.
Waktu hendak kembali ke tempat asalnya, baik Dewa Kala, Durga dan lainnya minta bagian dari sajian yang telah disediakan. Dewa Kala minta batang pisang, itik dan burung merpati. Durga minta kain sindur dan bangun tulak.
Kecuali itu tokoh lain seperti Dewi Sri dan Sadana, Kebo Gegeg dan Kebo Celeg dan lain-lain (mereka bukan tokoh jahat) minta bagian pula. Mereka berperan dan memberi petuah agar mereka yang diruwat memperoleh keselamatan.
Dengan demikian maka sebagai unsur pokok di dalam upacara ruwatan selanjutnya, di samping orang menyediakan berbagai macam sajen dan syarat lainnya yang harus dipenuhi, orang harus mengadakan pergelaran wayang purwa, dengan cerita khusus Murwakala, cerita riwayat kehidupan Dewa Kala.
RUWATAN DALANG KANDHA
Pada dasarnya pelaksanaan upacara ruwat bagi orang yang kurang mampu tidak berbeda dengan upacara ruwat lengkap, hanya sifatnya lebih sederhana.
Dengan demikian biaya yang dikeluarkan tidak begitu besar, sehingga terjangkau oleh mereka. Adapun mengenai unsur-unsur sajian yang diperlukan di dalam upacara itu, tetap harus sama seperti pada upacara lengkap, perbedaannya hanya terletak pada acara pementasan wayangnya.
Di atas telah diutarakan, bahwa pementasan wayang merupakan unsur pokok dalam upacara ruwatan. Untuk keperluan itu orang harus menyediakan biaya yang tidak sedikit, terutama apabila orang mendatangkan dalang yang terkenal.
Maka bagi orang yang kurang mampu dimungkinkan untuk mengadakan ruwat, hanya dengan mengundang dalangnya saja, tanpa membawa wayang dan gamelan. Di dalam upacara itu dalang hanya bertugas sekedar bercerita saja tentang riwayat Dewa Kala seperti yang terdapat di dalam lakon Murwakala.
Sesudah bercerita, maka diadakan upacara pengguntingan rambut anak yang ruwat dan dengan itu selesailah upacaranya. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan untuk dalang tidak semahal biaya pergelaran wayang yang lengkap.
Upacara semacam itu disebut ruwatan dalang kendha (karena dalang hanya bercerita saja).
Upacara ruwat bumi hingga kini masih dilestarikan sejumlah warga desa. Salah satunya adalah Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang sampai sekarang masih melestarikan tradisi ruwat bumi untuk mendapatkan kesejahteraan desa.
RUWATAN BUMI, Mojokerto.
SUARA gamelan terdengar mendayu mengiringi kedatangan rombongan pembawa tumpeng, yang terlihat gagah dengan berseragam pakaian khas jawa. Di belakang tumpeng, ratusan warga dengan mengenakan pakaian khas berjalan beriringan sejauh kurang lebih lima kilometer.
Ada lebih dari lima belas kelompok yang ikut serta dalam barisan panjang ini. Setiap kelompok memiliki tema-tema sendiri alam menentukan kostum mereka. Tradisi di desa tersebut dilakukan dengan melibatkan sejumlah warga yang mewakili berbagai kalangan seperti petani, nelayan, pamong desa serta para pelajar.
Prosesi ritual ruwat bumi dilakukan dengan cara yang cukup unik. Yakni menggarak aneka hasil bumi dan ternak berkeliling desa. Arak-arakan dimulai dari dusun sebelah selatan hingga menuju dusun sebelah utara. Jalan yang dilalui adalah jalan-jalan utama agar warga bisa menyaksikan acara tahunan ini.
Ratusan warga yang mengikuti acara itu, tampak berjejer rapi seolah ingin menyambut rombongan yang baru mengarak tumpeng dengan keliling kampung tersebut.
Dimulai dari depan balai desa setempat sekitar 500 warga berjalan di sepanjang desa sambil membawa hasil bumi dan hewan ternak yang tubuh dan hidup di desa tersebut.
Di bagian depan rombongan arak-arakan ditampilkan dua orang berpakaian Anoman dan seorang gadis dengan dandanan Dwi Sri beserta 5 orang pengawalnya.
Rombongan pertama adalah rombongan para petani. Uniknya, petani rombongan anggotanya adalah para perempuan usia remaja dengan mengenakan kebaya modis berwarna merah muda. Warga yang melihat juga semakin antusias dan beberapa diantaranya terlihat menggoda dengan meneriaki peserta rombongan. Tampilnya seorang gadis berpakaian petani tersebut sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Dimana warga berharap tidak ada kekeringan dan sawah mereka tetap bisa panen sepanjang tahun.
Ada pula rombongan delapan pemuda yang membawa liong-liong atau naga yang biasa digunakan sebagai tradisi etnis Tionghoa. Selain itu, rombongan pemuka agama juga ikut memeriahkan rombongan seperti rombongan biksu.
Ritual menggarak aneka hasil bumi dan ternak berakhir dengan pemotongan tumpeng oleh kepala desa yang diserahkan kepada sesepuh desa setempat. Usai dipotong sisa nasi tumpeng yang dipercaya akan mendatangkan berkah menjadi rebutan warga.
Sebelumnya, tetua dusun setempat bernama Suwandi sebelumnya memimpin doa untuk keselamatan dusun. Setelah diringi doa, tumpeng yang sudah dipotong langsung diserbu ratusan warga yang nampak tidak sabar mengambil makanan yang disediakan nampan berukuran besar.
Ratusan warga berbondong-bondong membawa makanan dan menyantap bersama di tepi jalan. Mereka menyakini ritual ini selain bisa mendatangkan berkah bagi warga, juga bisa menjauhkan dari bencana yang belakangan kerap terjadi. Warga berharap dengan memakan makanan sesaji ini, mereka bisa menjadi sejahtera karena makanan tersebut sudah diberi doa.
"Ya percaya saja kalau bisa memakan makanan sesaji bisa terhindar dari bencana." ungkap Sujito, warga sekitar.
Menurut Heri Bowo, kepala urusan pemerintahan Dusun Jatisumber, acara ritual ini memang sudah menjadi tradisi tahunan. "Menjelang bulan jawa yakni bulan ruwah memang selalu dilakukan acara ruwatan seperti nama bulannya. Kebetulan hari-harinya menjelang puasa." terangnya.
Heri menjelaskan, kegiatan ini bertujuan untuk bersih desa dan berharap untuk keselamatan desa agar tidak terjadi bencana. "Disamping itu juga untuk mengenang Mbah Sumberjati. Dia adalah sosok perempuan yang mendirikan desa ini." ungkapnya.
Namun, ada yang istimewa dalam penyelenggaraan ruwat dusun atau desa. Yakni, warga dusun atau desa setempat yang sedang diruwat dilarang untuk keluar desa/dusun selama pelaksanaan ruwatan.
"Kalau dulu aturan ini ketat, tapi karena sekarang banyak kesibukan banyak yang melanggar dan itu tidak apa-apa." ujarnya. "Kalau dulu hanya PNS, TNI atau Polri yang boleh keluar dusun. Kalau yang wiraswasta ya tidak ke mana-mana. Tapi sekarang bisa dilanggar.." terangnya.